Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur
BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR
Oleh
Ustadz Musyafa Lc
Istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, tentu bukan istilah yang asing di telinga kita, karena merupakan istilah yang diambil dari firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebut Negeri Saba’ yang pada waktu itu indah dan subur alamnya, dengan penduduk yang selalu bersyukur atas nikmat yang mereka terima. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Sungguh bagi Kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Rabb) di kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan:) “Makanlah dari rizki yang dianugerahkan Tuhan kalian dan bersyukurlah kepadaNya!’. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr”. [Saba’/34:15].
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, ketika menafsirkan ayat ini, ia mengatakan: “Saba’ adalah (sebutan) raja-raja Negeri Yaman dan penduduknya. Termasuk diantara mereka ialah raja-raja Tababi’ah dan Ratu Bilqis -isteri Nabi Sulaimân-. Dulu, mereka berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan (yang meliputi) negerinya, kehidupannya, kelapangan rizkinya, tanaman-tanamannya, dan buah-buahannya. Allâh mengutus kepada mereka beberapa rasul, yang menyeru mereka agar memakan rizki yang diberikan-Nya, dan agar bersyukur kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Keadaan mereka (yang baik) itu terus berlangsung hingga (waktu) yang dikehendaki Allâh, lalu mereka berpaling dari apa yang diserukan kepada mereka, sehingga mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang dan terpencar-pencarnya mereka di banyak negeri”[1].
Makna Lughawi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur
Mengapa Allâh Azza wa Jalla menyebut Negeri Saba’ sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr? Karena dalam bahasa ia berarti “Negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun”. Meski istilah singkat namun maknanya padat, dan dapat mewakili semua kebaikan yang dulunya ada pada Negeri Saba’ tersebut, karena “negeri yang baik” bisa mencakup seluruh kebaikan alamnya, dan “Rabb Yang Maha Pengampun” bisa mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Rabb alam semesta.
Baldatun Thayyibatun Menurut Para Ahli Tafsir
Asy-Syaukâni rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan: “Maknanya (baldatun thayyibatun) ialah: ini negeri yang baik, karena banyaknya pohon-pohon, dan bagus buah-buahannya”.
Lebih detail lagi Ibnu Zaid rahimahullah menerangkan kebaikan Negeri Saba’: “Di daerah mereka, sama sekali tidak pernah terlihat ada nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, dan ular. Apabila seseorang masuk ke dalam dua tamannya, dan meletakkan keranjang di atas kepalanya, maka pada saat keluar, keranjang itu akan penuh dengan beraneka buah-buahan, padahal ia tidak memetiknya dengan tangannya”[2].
Ibnu Katsîr rahimahullah juga mengatakan: “Para ahli tafsir yang lain mengatakan, dahulu di negeri mereka sama sekali tidak ada lalat, nyamuk, kutu, dan hewan-hewan yang berbisa. Hal itu karena cuaca yang baik, alam yang sehat, dan penjagaan dari Allâh, agar mereka mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya”[3].
Wa Rabbun Ghofur Menurut Ahli Tafsir
Muqâtil rahimahullah, ketika menafsirkan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala “wa rabbun ghafur”, ia mengatakan: “Maknanya, Rabb kalian adalah Rabb yang Maha Mengampuni dosa-dosa, jika kalian mensyukuri rizki pemberian-Nya”[4].
At-Thabari rahimahullah mengatakan, “Rabb kalian adalah Rabb Yang Maha Pengampun, jika kalian mentaati-Nya”[5].
Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan: “Yakni (Rabb kalian) adalah Rabb Yang Maha Pengampun, jika kalian terus-menerus dalam mentauhidkan-Nya”[6].
Nukilan-nukilan di atas menunjukkan bahwa Negeri Saba’ merupakan negeri yang alamnya baik dan penduduknya shalih, sehingga mereka menerima kenikmatan sangat luar biasa tersebut. Namun karena akhirnya perilaku mereka itu berubah dan luntur, maka turunlah azab atas mereka yang menghapuskan kenikmatan-kenikmatan yang sebelumnya mereka terima. Ini merupakan pelajaran sangat berharga bagi umat manusia setelahnya, dan merupakan petunjuk nyata dari firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Sesungguhnya jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat-Ku) untuk kalian. Namun bila kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sungguh azabku sangat berat. [Ibrâhîm/14:7].
Dari nukilan tersebut kita juga dapat mengambil kesimpulan, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya. Secara lebih luas, ialah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat, wallâhu a’lam.
Hakikat dan Ciri-Cirinya
Hakikat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur merupakan keadaan negeri yang menjadi dambaan dan impian seluruh manusia. Yaitu sebuah negeri yang memiliki gambaran sebagai berikut.
- Negeri yang selaras antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya.
- Negeri yang penduduknya subur dan makmur, namun tidak lupa untuk bersyukur.
- Negeri yang seimbang antara kebaikan jasmani dan rohani penduduknya.
- Negeri yang aman dari musuh, baik dari dalam maupun dari luar.
- Negeri yang maju, baik dalam hal ilmu agama maupun ilmu dunianya.
- Negeri dengan penguasa yang adil dan shalih, dan penduduk yang hormat dan patuh.
- Negeri yang di dalamnya terjalin hubungan yang harmonis antara pemimpin dan masyarakatnya, yaitu dengan terwujudnya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Namun, terbentuknya keadaan negeri “impian” ini tidak semudah membalik tangan. Karena negeri “impian” ini merupakan sesuatu yang istimewa, tentu memerlukan perjuangan dan usaha keras dalam mewujudkannya. Bahkan perjuangan dan usaha keras saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi pula dengan bimbingan yang jelas dari Allâh Azza wa Jalla , dikarenakan beberapa hal berikut.
- Meski manusia mengetahui maslahat dunia, terutama yang berhubungan dengan sisi jasmani, tetapi pengetahuan itu hanya sebagiannya saja. Sehingga masih ada banyak hal tentang maslahat dunia yang tidak diketahui manusia, terutama yang berhubungan dengan sisi rohani.
- Seringkali akal manusia terkecoh ketika menilai sebuah maslahat, sehingga seringkali suatu yang membahayakan dianggap sebagai bermanfaat, dikarenakan keterbatasan kemampuan akal manusia.
- Akal manusia tidak akan mampu mengetahui maslahat yang berhubungan dengan akhirat, padahal kehidupan akhirat merupakan tujuan utama dan target akhir, bahkan masanya akan selama-lamanya.
Dari sini kita bisa mengerti arti penting syariat agama bagi kehidupan manusia, baik untuk kehidupan pribadi maupun untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan telah terbukti dalam sejarah kehidupan manusia, bahwa mayoritas negara-negara yang kuat kekuasaannya dan luas wilayahnya itu asal-muasalnya dari agama.
Sejarawan Islam terkemuka, Ibnu Khaldun rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya negara-negara yang luas wilayahnya dan kuat kekuasaannya, itu asal-usulnya dari agama, baik agama yang bertolak dari kenabian, maupun agama yang bertolak dari ajakan kepada yang haq. Alasannya, kekuasaan hanya bisa didapat melalui penaklukan, dan penaklukan hanya terjadi akibat fanatisme dan kesamaan tujuan. Padahal hati manusia tidak dapat disatukan dan disamakan kecuali dengan pertolongan Allâh dalam rangka menegakkan agama-Nya. Allâh Ta’ala berfirman :
لَوْاَنْفَقْتَ مَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَّآ اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْۗ اِنَّهٗ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Andai engkau mengerahkan seluruh kekayaan yang ada di bumi, niscaya engkau takkan dapat menyatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang menyatukan mereka. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. [Al-Anfal/8 : 63]
Rahasia (dari hal ini) ialah, karena bila hati manusia saling berhasrat dengan suatu kebatilan dan condong kepada dunia, maka selanjutnya akan terjadi persaingan dan perselisihan yang meluas. Namun jika hati tersebut diarahkan untuk membela kebenaran, mengesampingkan dunia, menolak kebatilan, dan menghadap kepada Allah, maka ia akan bersatu. Dengan begitu, persaingan akan hilang dan akan sedikit perselisihan. Kerjasama dan tolong-menolong menjadi membaik, dan pengaruh kekuasaan semakin meluas, sehingga negara pun menjadi besar”[7].
Oleh karena itu, untuk mencapai negeri dengan predikat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, disamping harus memperhatikan faktor yang menjadi penyebab kebaikan sebuah negeri dipandang dari sisi dunia, juga harus memperhatikan jika dipandang dari sisi agama. Sisi inilah yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia.
Pilar-Pilar Negeri Impian
Syariat Islam telah banyak menyinggung hal-hal yang menjadikan baik dan berkahnya sebuah negeri, diantaranya:
Pertama : Ikhlasul Ubudiyyah Lillah
Yang berarti memurnikan amalan ibadah hanya untuk Allâh. Inilah perwujudan persaksian kita Lâ ilâha illallâh (tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allâh), juga tujuan diciptakan manusia, dan perintah Allâh yang paling agung.
Allâh Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah (hanya) kepada-Ku. [adz-Dzâriyât/51:56].
Dalam ayat lain Allâh juga berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Mereka tidaklah diperintah, melainkan untuk menyembah kepada Allâh dengan memurnikan ketaatan beragama hanya kepada-Nya dan menjauhkan diri dari kesyirikan. [al-Bayyinah/98:5].
Inilah kunci untuk sebuah negeri dengan predikat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, karena dengannya negeri menjadi berkah, kaya, dan aman. Hal ini bisa dipahami dari firman-firman-Nya berikut ini.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, pasti Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. [al-A’râf/7:96].
Dan memurnikan ibadah hanya untuk Allâh, termasuk dalam keimanan dan ketakwaan yang paling utama.
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
Maka aku pun mengatakan kepada mereka: “Mintalah ampun kepada Rabb kalian, karena sesungguhnya Dia itu Maha Pengampun. (Jika kalian melakukannya) niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepada kalian, memperbanyak harta dan anak-anak kalian, mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untuk kalian”. [Nuh/71:10-12].
Demikian ini perintah Nabi Nuh kepada kaumnya yang dahulu melakukan kesyirikan agar mereka bertaubat dan memurnikan ibadah hanya untuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Allâh telah menjanjikan kepada orang-orang dari kalian yang beriman dan beramal shalih, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dia benar-benar akan meneguhkan mereka dengan agama mereka yang telah Dia ridhai. Dan dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka dari takut menjadi aman. (Hal ini dikarenakan) mereka menyembah (beribadah) kepadaKu, dan tidak menyekutuka-nKu dengan suatu apapun. [an-Nûr/24:55].
Ayat-ayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa mentauhidkan Allâh dalam beribadah merupakan faktor agar sebuah negeri menjadi berkah, kaya, kuat, dan aman. Yakni negeri dengan julukan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ketika Ibnu Katsîr menafsirkan Ayat Saba’, ia mengatakan: “Dan Allâh mengutus kepada mereka beberapa rasul, yang menyeru mereka agar memakan rizki yang diberikan-Nya dan agar mensyukuri-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya”.
Oleh karena itu, hendaklah masing-masing diri kita agar berusaha mewujudkan lingkungan yang menjunjung tinggi nilai tauhid, tidak mendiamkan terjadinya perbuatan syirik dimanapun tempatnya dan apapun keadaannya. Tentunya dengan langkah-langkah yang baik, cerdas dan hikmah, sehingga maslahat memurnikan ibadah hanya untuk Allah benar-benar terwujud di tengah masyarakat.
Kedua : Ittiba’ Rasul
Yang berarti mengikuti petunjuk Rasul, dan ini sebagai perwujudan dari persaksian “Muhammadur-Rasulullâh” (Nabi Muhammad adalah utusan Allâh). Konsekuensi dari hal ini, ialah penetapan syariat Islam dalam sebuah negeri, baik oleh penduduknya maupun oleh penguasa dan pemerintahannya.
Dengan Ittiba’ Rasul, maka semua kebaikan akan menyatu dan berkesinambungan, karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan salah satu faktor yang utama untuk mendatangkan rahmat, kecintaan, dan ampunan Allâh Ta’ala. Disebutkan dalam firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah engkau (Muhammad) Kami utus, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. [al-Anbiyâ’/21: 107].
Dalam ayat lain Allâh juga berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad): “Jika kalian mencintai Allâh, maka ikutilah aku! (Dan Jika kalian mengikutinya), maka Allâh mencintai kalian dan mengampunidosa kalian”. [Ali-Imran/3:31].
Jika rahmat dan cinta Allâh menyatu dalam sebuah negeri dan penduduknya, adakah kebaikan yang tidak diberikan Allâh kepada mereka? Tentu, semua kebaikan akan diberikan Allâh kepada mereka.
Bayangkanlah, bila ada sebuah negeri yang diberkati alamnya, dan penduduknya menerapkan syariat Islam yang seluruhnya merupakan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia, tentu di dalamnya akan lahir kebaikan-kebaikan yang besar, misalnya:
- Akhlak penduduknya menjadi mulia, sehingga mereka saling menghormati, saling membantu, saling gotong-royong, saling menasihati dan mengingatkan, dan seterusnya. Sebaliknya, mereka juga akan menjauhi akhlak dan moral yang buruk dan tercela.
- Sifat amanah menyebar dan membumi, yakni setiap individu benar-benar menjalankan kewajibannya dengan baik, tidak ada korupsi, suap-menyuap, dan pengkhianatan lainnya, sehingga negeri itu terus terbangun dan mengalami kemajuan dengan cepat.
- Adanya keseimbangan yang indah antara kepentingan dunia dan akhirat, yaitu antara perhatian terhadap sisi jasmani dan rohani, antara kebaikan alamnya dan pengelolaannya, antara keadilan pemimpinnya dan kepatuhan masyarakatnya, dan seterusnya.
Dengan faktor Ittiba’ Rasul ini pula, umat Islam menjadi kuat dan jaya, sebagaimana perkataan Sahabat Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu : “Kita dahulu adalah kaum yang paling lemah, lalu Allah memberikan kejayaan kepada kita dengan Islam, maka selama kita mencari kejayaan dengan selain Islam, niscaya Allah akan melemahkan kita”. [HR al-Hakim, 207; dishahîhkan oleh Syaikh Albani].
Dari sini kita dapat memahami betepa penting membangun akhlak masyarakat, baik akhlak terhadap sesama, maupun akhlak terhadap Penciptanya. Karena pentingnya pembangunan akhlak ini, sehingga Islam sangat memperhatikannya. Bahkan Allâh memilih rasul yang mengemban risalah Islam ini, adalah seorang yang sangat tinggi akhlaknya, dan sangat memperhatikan akhlak umatnya.
Allâh Ta’ala berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Sungguh engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak mulia. [al-Qalam/68:4].
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّمَابُعِثْت ُلِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Sungguh aku diutus, tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. [HR Ahmad, 8952; dishahîhkan oleh Syaikh Albani].
Oleh karenanya, tidak selayaknya kita sebagai umat Islam mengesampingkan sisi akhlak ini. Karena dengan akhlak yang mulia, maka negeri akan terbebas dari segala bentuk krisis, mulai dari krisis moral, ekonomi, politik, hingga krisis keamanan. Sehingga negeri akan menjadi indah dan bersahabat.
Semoga tulisan singkat ini, dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya. Dan negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur bisa terwujud di negeri kita tercinta, amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tafsir Ibnu Katsîr, 6/504.
[2] Tafsir ath-Thabari, 19/247
[3] Tafsir Ibnu Katsîr, 6/507
[4] Tafsir Muqâtil, 3/529
[5] Tafsir Thabari, 19/248
[6] Tafsir Ibnu Katsîr, 6/507
[7] Muqaddimah Ibnu Khaldun, 1/266
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4276-baldatun-thayyibatun-wa-rabbun-ghafur.html